Sejarah di Riau terkait erat dengan
Kerajaan Sriwijaya. Sejumlah ahli sejarah berpendapat bahwa kerajaan ini
berpusat di Palembang karena disana ditemukan prasasti peninggalan
Sriwijaya. Beberapa ahli sejarah lain mengatakan bahwa puat Kerajaan
Sriwijaya adalah di Muaratakus (Riau). Masa kajayaan Kerajaan Sriwijaya
adalah antara abad ke 11 sampai abad ke 12. ketika itu kekuasaan
Kerajaan Sriwijaya meliputi eluruh wilayah Indonesia bagian barat dan
seluruh Semenanjung Melayu.
Pasca keruntuhan Kerajaan Sriwijaya, di
Riau muncul beberapa kerajaan. Salah satu kerajaan besar adalah
Kerajaan Malaka yang didirikan oleh Prameswara pada awal abad ke 14.
Kerajaan Malaka mencapai puncak kejayaannya pada era pemerintahan Sultan
Muhammad Iskandar Syah pada awal abad ke 15. Kejayaan Malaka ini tidak
lepas dari peran panglima angkatan lautnya, yaitu, Laksamana Hang Tuah.
Kekuasaan Kerajaan Malaka berakhir
tanggal 10 Agustus 1511. ketika itu, Ketika itu, Malaka ditaklukan oleh
Portugis di bawah pimpinan Alfonso d’Albuquerque. Sultan Mahmud Syah I
yang berhasil menyelamatkan diri dari gempuran Portugis kemudian
membangun kerajaan baru di Bintan. Kerajaan Melayu ini mewarisi
kekuasaan Kerajaan Malaka yang meliputi Kelantan, Perak, Trenggano,
Pahang, Johor, Singapura, Bintan, Lingga, Inderagiri, Kampar, Siak, dan
Rokan.
Setelah merasa kuat, Sultan Mahmud Syah
I merencanakan untuk melancarkan serangan balasan terhadap Portugis di
Malaka. Dia kemudian melancarkan serangan berturut-turut tahun 1515,
1516, 1519, 1523, dan 1524. namun semua serangan tersebut tidak berhail
menggoyahkan pertahanan Portugis. Bahkan kemudian Portugis melancarkan
serangan balasan tahun 1526 dan berhasil menguasai Bintan.
Sultan Mahmud Syah I meninggal dunia
tahun 1528 di Pekantua. Posisinya digantikan oleh putranya, yaitu,
Sultan Alauddin Riayat Syah II. Dia melanjutkan kebijakan ayahnya dalam
menyikapi penjajah. Pada masa kekuasaannya terjadi banyak peperangan
melawan Portugis. Berbagai peperangan tersebut menelan korban jiwa yang
tidak sedikit.
Selain itu, Kerajaan Melayu juga
terlibat dalam beberapa kali pertempuran melawan Kerajaan Aceh. Hubungan
anrata Melayu dan Aceh semakin memanas ketika Melayu menjalin kerjasama
dengan Belanda untuk menghancurkan Portugis di Malaka. Permusuhan
antara kedua kerajaan tersebut berlangsung sampai Aceh mulai surut
sepeninggal Sultan Iskandar Muda yang meninggal dunia tahun 1636.
Setelah itu, kekuatan Kerajaan Melayu
terpusat untuk menghancurkan Portugis di Malaka. Pada bulan Juni 1640,
Kerajaan Melayu yang bekerjasama dengan Belanda melakukan penyerangan
terhadap Portugis di Malaka. Portugis kalah pada bulan Januari 1641.
Hubungan baik Kerajaan Melayu dengan
Belanda berlangsung sampai tahun 1784. Tanggal 30 Oktober 1784, Kerajaan
Melayu diserang Belanda dan ditaklukkan. Kerajaan Melayu kemudian
mengakui kekuasaan Belanda, mulailah era kolonialisme di Keranaan
Melayu.
Sebagai mana daerah lain di Indonesia,
di Riau terjadi berbagai perlawanan bersenjata terhadap kolonialisme.
Perlawanan besar dilakukan rakyat di daerah Rokan di bawah pimpinan
Tuanku Tambusai (1820-1839). Sebelum berjuang melawan Belanda di Rokan,
Tuanku Tambusai berjuang dalam perang Padri, bersama-sama gurunya,
yaitu, Tuanku Imam Bonjol. Namun tuanku Tambusai tidak berhasil
menghancurkan kekuatan Belanda. Dia kemudian menyingkir ke Malaka dan
menetap di daerah Seremban.
Selain tuanku Tambusai, masih banyak
tokoh lain yang mengobarkan perlawanan rakyat terhadap kolonoalisme
Belanda. Namun semua perlawanan tersebut dapat dipatahkan Belanda.
Beberapa tokoh yang memimpin perlawanan rakyat adalah Panglima Besar
Sulung yang memimpin perlawanan rakyat Retih tahun 1857, Datuk Tabano di
Muara Mahat (1898), dan Sultan Zainal Abidin di Rokan (1901-1904).
Setelah berbagai perlawanan tersebut dapat diredam, Belanda semakin
menancapkan kekuatannya di Riau.
Awal abad ke 20 merupakan era munculnya
semangat nasionalisme. Tahun 1916 berdiri Serikat Dagang Islam di
Pekanbaru, didirikan oleh Haji Muhammad Amin. Tahun 1930 berdiri Serikat
Islam di Rokan Kanan, didirikan oleh H.M. Arif. Setelah itu muncul
beberapa organisasi lain seperti Muhammadiyah.
Tahun 1942, Jepang masuk dan menguasai
daerah Riau. Di era penjajahan Jepang ini, rakyat semakin sengsara
karena seluruh kegiatan rakyat ditujukan untuk mendukung peperangan yang
sedang dilancarkan Jepang di seluruh Asia Pasifik. Hasil pertanian
rakyat dirampas dan penduduk laki-laki banyak yang dijadikan romusha.
Kabar tentang proklamasi kemerdekaan
sampai ke Riau tanggal 22 Agustus 1945, namun teks lengkapnya baru
sampai ke Pekanbaru seminggu kemudian. Meskipun sudah mengatehui dengan
pasti perihal kemerdekaan, namun rakyat Riau tidak berani langsung
menyambutnya. Hal ini karena tentara Jepang masih lengkap dengan
senjatanya dan belum adanya pelopor yang meneriakan kemerdekaan. Baru
pada tanggal 15 September 1945, para pemuda yang tergabung dalam
Angkatan Muda PTT berinisiatif untuk menyuarakan kemerdekaan, sejak hari
tiu, pekik kemerdekaan terdengan diseluruh pelosok Riau.
Di awal kemerdekaan, Riau tidak
langsung menjadi provinsi, melainkan menjadi bagian dari provinsi
Sumatera. Pada saat Sumatera dibagi menjadi tiga provinsi, yaitu,
Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan, Riau menjadi
bagian dari Sumatera Tengah. Baru pada tahun 1957, status Riau meningkat
menjadi Provinsi.: Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar