Posted by Erwansyah AR
Budaya,
NewsUpdate,
WisataSejarah
02.26
  | 
| foto : net | 
RIAUGREEN.COM - Pengakuan bahwa bahasa Melayu yang menjadi teras 
bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu Riau, secara implisit berarti juga
 pengakuan tentang adanya satu pusat kekuasaan yang telah memberi ruang 
dan kesempatan bahasa dan sastra Melayu itu tumbuh dan berkembang 
sehingga menjadi aspek budaya yang tinggi nilainya. Itu berarti tak lain
 kesultanan Melayu Riau lah yang menjadi pusat kekuasaan dan pendorong 
pertumbuhan budaya tersebut.
Bagi masyarakat Melayu, di Riau terutama pengakuan itu tampaknya sangat 
penting dan melibatkan emosi. Sebab bagaimanapun selama ini, sekalipun 
bahasa Melayu diakui telah memberikan sumbangan yang tidak ternilai 
harganya terhadap pengembangan kebudayaan nasional, namun induk yang  
membesarkannya hampir tak mendapat tempat yang wajar. Contohnya tak 
begitu sulit untuk dicari, dan orang cukup melihat buku sejarah nasional
 Indonesia (Nugroho Notosusanto, Dkk, 1975) yang dianggap sebagai buku 
babon (standar) bagi penulis sejarah Indonesia. Disitu peranan dan 
kedudukan Kerajaan Melayu Riau nyaris tak pernah disentuh dan 
disebut-sebut, bahkan tenggelam dalam kebesaran kekuasaan lain, seperti 
Aceh.
Lolosnya kerajaan Melayu Riau dari catatan sejarah Nasional itu, 
kemudian tentu saja menurun ke buku-buku pelajaran sekolah-sekolah yang 
bersumber dari buku babon tersebut. Di SMPT, atau SMAT misalnya, buku 
pelajaran sejarah Nasional tak sempat menyebut-nyebut Kerajaan Melayu 
itu. Apalagi buku pelajaran IPS di sekolah dasar, kecuali yang dipakai 
di Riau. Mengapa hal demikian bisa terjadi? Apakah sejarah kebudayaan 
Melayu Riau yang jatuh bangun selama 189 tahun (1722-1911) bukan 
merupakan bagian sejarah nasional Indonesia, tetapi menjadi bagian 
sejarah Johor  (Malaysia)? Itulah antara lain pertanyaan-pertanyaan 
menarik yang sudah bergaung jauh sebelum Seminar Nasional Kebudayaa 
Melayu  itu berlangsung.
Sayang selama seminar empat hari itu, pernyataan-pernyataan tersebut 
hampir tak terjawab. Dan ini pun bisa dimaklumi, terutama karena seminar
 itu bukanlah seminar tentang sejarah, tetapi tentang budaya yang 
merangkut berbagai hal secara umum. Sehingga, sekalipun dalam kelompok 
seminar ada kelompok aspek sejarah, tetapi permasalahan yang dibicarakan
 sangat beragam dan tidak merupakan suatu pembicaraan khusus tentang 
sejarah politik dan kekuasaan kerajaan-kerajaan yang pernah ada dan 
memainkan peranannya di kawasan ini. Apalagi cakupan Melayu dalam 
pengertian seminar tersebut, bukanlah semata-mata terpacu pada Riau, 
tetapi sedaya upaya ingin merangkum semua kawasan di Indonesia yang 
merupakan pendukung dari kebudayaan ini.
Pusat Bajak Laut
Dari sebelas makalah tentang aspek sejarah yang diperbincangkan, hanya 
empat makalah yang secara langsung menyinggung tentang sejarah politik 
dan kekuasaan kerajaan Melayu di semenanjung, terutama berkaitan dengan 
Kerajaan Melayu Riau. Salah satu yang cukup mengelitik adalah makalah Dr
 Onghokham, (UI-Jakarta) yang berjudul “Pemikiran Tentang Sejarah Riau”,
 sebuah makalah yang tebalnya hanya sembilan halaman.
Dr Onghokham, seperti kebanyakan sejarahwan dari luar Riau, memang masih
 belum bersedia untuk penegaskan mana yang dimaksud dengan kerajaan Riau
 itu. Akibatnya selain acuan ruangan dan waktu menjadi sering tidak 
jelas, juga pengistilahan yang persis tentang kesultanan. Riau itu pun 
sering berganti-ganti. Kadang-kadang dipakai istilah Kesultanan Riau, 
kadang-kadang kerajaan Bintan. Kekaburan itu, sama juga dengan penegasan
 ahli sejarah itu tentang jejak paling jelas dari kesultanan Riau yang 
dikatakan abad ke-15, berarti hampir bersamaan dengan masa keemasan 
kerajaan Melayu Malaka (1400-1528). Sedangkan, dalam berbagai penulisan 
sejarah, terutama oleh sejarahwan Riau dan Malaysia, pengertian Riau itu
 sendiri baru ada sekitar tahun 1978, ketika Sultan Ibrahim (1677-1685) 
dari Johor, memindahkan sementara ibukota kerajaannya dari Batu Sawar 
(Johor) kehulu Riau. Pusat pemerintahan itu kembali ke Johor tahun 1690 
pada masa pemerintahan Sultan Mahmudsyah. Bagi kalangan sejarahwan di 
Riau sekarang ini, Kesultanan Riau baru terwujud tahun 1722, ketika 
orang-orang Bugis melantik Tengku Sulaiman sebagai Sultan. Bahkan masih 
ada pendapat lain yang justru mencatat bahwa Kesultanan Riau (yang lebih
 sering dipakai, Riau-Lingga) baru punya eksitensi politik dan kekuasaan
 pada saat lahirnya Trakat London (1824), saat wilayah eks Kesultanan 
Johor dibagi dua. Riau masuk bagian Sultan Riau Lingga dan dibawah 
pengawasan Belanda dan Singapura dan Johor, menjadi bagian Semenanjung 
Melaysia di bawah kekuasan Inggris.
Dr Onghokham juga melihat dalam sejarah perkembangannya Kesultanan Riau 
itu, atau lebih tepat Riau dahulunya itu, dalam percaturan Politik 
internasional tidak pernah merupakan pusat kekuasaan terpenting atau 
terbesar. Wilayah itu hanya menjadi pemukiman orang laut dan tempat 
pelarian raja-raja yang syah, atau dinasti atau wangsa sah sekitarnya 
digulingkan. Peranan Kesultanan Riau pada tahun-tahun setelah 1511, 
yaitu sebagai tempat strategis untuk melakukan gerilya laut, seperti 
untuk menyerang Protugis di Malaka. Sumber-sumber Protugis, menurut Dr 
Ong, menyebut gerilnya laut yang berpangkat di pulau Bintan itu sebagai 
bajak laut. Meskipun untuk pengertian ini, Onghokham perlu mengaris 
bawahi bahwa pada zaman itu, antara perang, politik, perdagangan dan 
pembajak laut tak banyak bedanya. Aksi Protugis menyerang Malaka 1511 
itupun tak lain sama dengan bajak laut. Demikian juga blokade Belanda 
terhadap Makasar atau Banten abad ke-17.
Tetapi, bagaimanapun, Dr Onghokham membenarkan bahwa dalam soal budaya, 
Kepulauan Riau tidak kalah dengan sekitarnya. “Dinasti raja-raja Riau 
mungkin kalah dalam kekuasaan politik dan kalah dalam kekayaan dengan 
raja-raja sekitarnya. Namun dalam hal budaya mereka tetap unggul”. 
Begitu kesimpulan Dr Onghokham. Tidak disebutkan faktor apa yang 
mendorong lahirnya budaya yang unggul itu.
Tampaknya dalam masalah tersebut Dr Onghokham hanya mencoba mengambarkan
 selintas perkembangan sejarah, di satu kawasan bernama Riau, sebagai 
salah satu kawasan kerajaan maritim yang dalam pertumbuhannya tenggelam 
dalam bayang-bayang kebesaran Kesultanan Malaka.
Saham Raja Kecil
Sejarahwan lain yang berbicara dengan acuan yang lebih jelas tentang 
pengertian Kesultanan Riau itu, adalah Drs Suwardi Ms (UNRI Pekanbaru) 
dengan makalahnya “Kesultanan Melayu di Riau: Kesatuan dalam Keragaman).
 Pokok bahasan bukanlah tentang apa dan bagaimana Kesultanan Melayu di 
Riau itu, melainkan tentang kesatuan dan keragaman pemerintahan dan 
peranannya dalam menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai sosial budaya
 Melayu. Namun, dalam pembicaraan itu pengertian tentang wilayah 
kesatuaan kekuasaan itu lebih punya batasan dan ruangan serta waktunya.
Suwardi Ms, sejarahwan Riau yang memang sudah cukup banyak mengeluti 
masalah sejarah yang terjadi dikawasan Riau sekarang ini, memulai 
pengertian kerajaan-kerajaan Melayu dan berkembang di Riau dari tokoh 
kontaraversial, Raja Kecil, (Raja Kecik) yang dalam satu perebutan 
kekuasaan di Kesultanan Johor 1717, berhasil merampas kekuasaan dari 
tangan Sultan Abdul Jalil Riayatsyah. Raja Kecil, yang dikatakan anak 
Sultan Johor Mahmudsyah yang mati terbunuh tahun 1699, dan dibesarkan di
 Minangkabau itu, setelah berhasil merampas tahta kerajaan, kemudian 
memindahkan kekuasaan itu ke Riau, 1719. Walaupun masa kekuasaan Raja 
kecil ini di Riau hanya berlangsung empat tahun, namun Suwardi Ms 
mengganggap Raja kecil sebagi tokoh yang punya andil (saham) besar dalam
 upaya mewujudkan kembali kesatuan Melayu di Selat Malaka yang dahulu 
terpecah belah oleh kekuasaan Protugis dan Belanda. Raja kecil yang 
terusir dari Riau itu, kemudian memilih pusat kekuasaannya yang baru, 
yaitu Siak,dan kemudian secara bertahap membangun Kesultaanan baru yaitu
 Kesultanan Siak (1723-1945).
Berdirinya kesultanan Siak, dengan sendirinya mengucapkan pengertian 
bahwa dikawasan Riau (dalam pengertian geo administrasi sekarang ini) 
ketika itu, ada dua pusat kekuasaan. Yaitu Riau yang berpusat di Ulu 
Riau dengan Sultannya Sulaiman Badrul Alamsyah, dan kedua kesultanan 
Siak dengan penguasanyan Raja kecil. Sekalipun dalam berbagai penulisan,
 selalu harus ditunjukkan bahwa hulu kedua Kesultanan ini adalah satu, 
yaitu Kesultanan Johor yang merupakan penerus Malaka. Oleh karenanya 
banyak juga yang berpendapat bahwa Imperium Melayu di kawasan 
Semenanjung dan tenggara Asia itu jatuh bangun selama lebih dari lima 
abad. Dimulai dengan kesultanan Malaka (1400-1528), dilanjutkan Johor 
(1528-1722), dan ditutup oleh Riau dan Siak yang berakhir tahun 1945. 
Bahkan mungkin lebih jika dikaitkan dengan munculnya Kesultanan Pahang 
yang dahulu menurunkan bagian dari wilayah Riau, dan Johor yang kemudian
 bangkit kembali sesudah Trakat London, 1824.
Namun demikian, dalam kaitan yang lebih khusus, apa yang disebut sebagai
 Kesultanan Riau itu, adalah eks Kesultanan Johor. Kalau sebelum terjadi
 perebutan kekuasaan antara keturunan Sultan Malaka dan keturunan 
Bendahara Tun Habib, Kesultanan Johor itu disebut sebagai Johor, Pahang 
dan Riau, sesudah perbelahan itu sebutannya menjadi Riau, Johor dan 
Pahang. Itu bermula dari tahun 1722 saat Sultan Sulaiman dilantik dan 
menjadikan Riau (dalam hal ini Riau dalam pengertian ibukota dan bukan 
wilayah) sebagai pusat kekuasaannya. Sementara Johor dan Pahang, 
keduanya dijadikan daerah pegangan yang masing-masing dikuasai oleh dua 
Petinggi kerajaan. Johor dibawah seorang Temenggung, dan Pahang  dibawah
 Bendahara. Tahun 1824, wilayah kekuasaan Riau ini tinggal lagi gugusan 
pulau Bintan, Lingga, Batam, dan Pulau Tujuh (Natuna). Sedangkan Johor 
dan Pahang serta Singapura masuk wilayah semenanjung dan berdiri 
sendiri.
Dipandang dari segi kekuasaan dan kedaulatan sebagai sebuah kerajaan 
yang merdeka dan berdulat, sebenarnya Kesultanan Riau itu hanya 
berlangsung tak lebih dari 62 tahun (1722-1784). Sebab, dengan 
berakhirnya perang Riau (1782-1784) dimana Riau dikalahkan oleh Belanda,
 maka sejak saat itu Riau sudah sepenuhnya berada dibawah kekuasaan VOC.
 Dalam perjanjian di atas kapal perang VOC “Utrech”, antara lain disebut
 bahwa Riau mengakui Belanda sebagai penguasa tertinggi, dan pengantian 
para Sultan dan Wakil Sultan Harus dengan seizin VOC. Riau ketika itu 
meskipun punya sultan dan perangkat pemerintahan, toh tak lebih dari 
sebuah koloni yang dalam pengertian kesombongan VOC disebut sebagai 
daerah “Anugerah sang ratu dan sebagai pinjaman”. Ketika terjadi 
peralihan kekuasaan antara Belanda dan Inggris akibat perang Eropa 1795,
 Riau sempat sekejap menjadi negeri merdeka. Ketika Inggris mengambil 
alih semua kekuasaan Belanda seperti Malaka, dan negeri-negeri lain di 
Semenanjung Malaysia, Riau, oleh Inggris dinyatakan bebas dan berarti 
sendiri. Tetapi akibat berbagi kelemahan pemerintahan ketika itu, Riau 
kembali jatuh ke dalam kencaman Belanda, 1815, ketika seluruh jajahan 
Belanda yang diambil alih Inggris dikembalikan.
Tenggelam
Jejak-jejak sejarah yang gelap dan saling berbaur itulah yang kemudian 
membuat Kesultanan Riau yang secara jelas adanya selama 189 tahun itu, 
seperti terlepas dari catatan sejarah. Ia seakan tenggelam dalam raupan 
tentang kebesaran sejarah Johor yang dianggap berlangsung dari 1528 
sampai dengan tahun 1824, dan tenggelam dalam pengertian sebuah koloni 
jajahan Belanda (1824-1913), sebelum akhirnya dihapuskan sama sekali 
dari daftar administrasi pemerintah kolonial Belanda di Indonesia 
sebagai daerah kerajaan. Ia hanya menjadi sebuah karesidenan yang 
kemudian menjadi teras daerah kekuasaan propinsi Riau.
Jejak-jejak sejarah yang tenggelam dalam belukar dan kemudian terus 
terlupakan itu, bukan cuma diterima oleh Kesultanan Riau, juga 
Kesultanan Siak. Dalam buku-buku sejarah nasional yang dipelajari di 
sekolah-sekolah tampaknyaber lawan Sultan Siak terhadap VOC di Guntung 
dan berhasil membantai habis satu datasemen tentara VOC, tak cukup kuat 
untuk dicatat. Juga dengan perang Riau 1782-1784 yang menewaskan ribuan-
 tentara VOC dan menenggelamkan sebuah kapal perang komando VOC “Malaka 
Walvaren” bersama 300 pasukannya. Padahal dalam berbagai penulisan 
sejarah asing, seperti buku “Jan Kompeni” (C.R. Boxer, SH-1983) perang 
tersebut ikut dicatat.
Anti Bugis
Usaha untuk merambas belukar sejarah kerajaan-kerajaan Melayu di Riau 
itu, bukan tak ada. Di Riau sendiri tahun 1975 sudah ada satu seminar 
sejarah Riau, yang kemudian tahun 1977 diikuti dengan terbitnya buku 
“Sejarah Riau” (Mukhtar Luthfi, dkk 1977). Tetapi buku sejarah itu 
ditangguhkan pengedarannya karena ada bagian isinya yang masih jadi 
sengketa. Sejak awal buku itu sudak dikencam sebagai kurang obyektif dan
 banyak mengelapkan fakta sejarah. Dalam pembicaraan tentang Kesultanan 
Riau misalnya, buku itu dikencam sebagai terlalu “Siak Sentris” dan 
terlalu “Anti Bugis”.
Peranan yang jernih dari bangsawan dan pengusaha Melayu keturunan 
Bulgis, disulap demikian rupa dan tenggelam oleh berbagi figur keturunan
 Melayu asli yang sebenarnya tidak begitu amat menonjol. Upaya untuk 
mengangkat figur Raja Kecik sebagi tokoh utama pemersatu kekuatan dan 
kekuasaan orang Melayu setelah Malaka runtuh dan Johor tumbang, membuat 
penulis sejarah tersebut jadi berat sebelah.
Kepincangan dalam penulisan itu, tampaknya ada kaitan dengan upaya 
melawan berbagai penulisan sejarah yang sudah ada, terutama hasil kerja 
para penulis dari Kesultanan Riau sendiri, seperti Raja Ali Hajji dengan
 Tuhfat Annavis, juga terhadap silsilah Melayu Bugis, yang dianggap 
terlalu “Bugis sentris” pula dan mengenyampingkan sama sekali hasil 
kecermelangan beberapa tokoh keturunan Melayu, serta serta menyudutkan 
figur Raja Kecik sebagai “Si Pembuat Onar”
Sayang pertemuan ilmiah yang sudah memilih aspek sejarah sebagai salah 
satu masalah yang jadi bahasan, tidak sempat menampilkan penulisan 
tentang sejarah kesultanan-kesultanan Melayu di Riau dan jernih, 
sehingga belukar sejarah yang sudah semak samun itu menjadi agak lebih 
terang. Ada beberapa makalah lain, seperti sejarah Kesultanan Melayu di 
Sumatera Timur (Tengku Lukman Sinar SH, Medan), tetapi amat sedikit 
menyentuh tentang Kesultanan Riau yang dianggap sebagai sumber 
pembentukan bahasa Melayu tinggi itu. (*)
sumber : adatbudaya-melayu.blogspot.com